Senin, 17 Juni 2013

Secercah Harapan Anak Bangsa

Beberapa Minggu..ini situasi dan kondisi NEGRI Ku INDONESIA banyak dipenuhi keanekaragaman, yang cukup mencekam dan sebagian dibeberapa Daerah....melakukan Orasi dengan berbagai Aliansinya....tentunnya kesemuanya ini...adalah bentuk dari ketidak puasan ketidak harmonisan, Rakyat Negri ini yang pada umumnya Masyarakat Bawah...masyarkat Kecil Diseantereo NEGRI Tercinta ini....mereka berbondong-bondong dengan berbagai Argumentnya...untuk Menolak Kenaikan BBM...tentunya bagi masyarakat kecil pada umumnya..memang sangat terasa sekali dengan situasi dan kondisi ini..sangat memprihatinkan...kesemuanya ini...masyarakat kecil hanya ini kejujuran para petinggi negara atau para wakil rakyat yang jujur dan memperjuangankan keadaan rakyatnya dibawah sana...mereka ingin kejelasa-kejelasan yang berlandaskan hukum...andai subsidi BBM itu disalurkan kepada masyarakat kecil...memang harus ada BADAN atau Koordinas Independent yang Memantau, mendampingi yang mengoreksi yang meng Audit...segala Bentuk-Bentuk Subsidi yang digaungkan akan disalurkan kepada masyarakat miskin tersebut...benar-benar tersalurkan kepada masyarkat kecil (bangsa indonesia pada umumnya, diseluruh negri sampai kepelosok-plosok daerah terpencil sekalipun yang tidak ernah tersentuh dan dijangkau) dikalangan tidak mampu khusunya mayoritas di Negri kita memang masih sangat banyak dalam kategori Hidup Dalam Keadaan Ekonomi (Dibawah Garis Kemiskinan) ini yang sangat-sangt memprihatinkan...untuk upaya tersebut perlunya Upaya-upaya kearah Perbaikan yang mendasar, disegala Lininya Jujur tentunya transparan dalam penyampaian Informasi kepada Masyarakat...dan ter Rekord Up to Date tentunya segala laporannya Dibuat Secara QuicKone (tidak saja dalam istilah penghitungan suara pemilu) sistem QUICKCONE Tersebut dipakai...sudah saatnya setiap saat dalam laporan mingguan kepada Bangsa INI harusnya disampaikan hal-hal yang nyata tersebut dengan penuh dedikasi yang tinggi kepada Masyarakat...

SEMOGA...SELANJUTNYA...DAMAILAH NEGRIKU...MASYARAKATKU....BANGSA KU...INDONESIA KU..TERCINTA...TUMPAH DARAH PARA NENENEK MOYANGKU... YAA...ALLOH...YAA...RAAB...ENGKAULAH...PENDAMAI YANG MAHA SANGAT MENDAMAIKAN...SELURUH JAGAT NEGRI KU INI...HANYA ENGKAULAH...YANG MAHA PENJAGA...MAHA PEMURAH LAGI MENYAYANGI...BANGSAKU...RAKYATKU...INDONESIA DISELURUH NUSANTARA INI..SAMPAI KE SELURUH PELOSOK NEGRI YANG TIDAK PERNAH TERJANGKAU PEMERINTAH SEKALIPUN...( YAA...RAAB..HANYA KEPADAMULAH...KAMI...MENGGANTUNGKAN DIRI..)

Sumber....: Appreciate all the good that comes on only

Sabtu, 08 Juni 2013

INDONESIA MENGAJAR (Program Kejar Paket A,B,C di Pelosok Desa)

MENGURANGI ANGKA PUTUS SEKOLAH ANAK YATIM   

Rumah Berbagi YMI : Sekolah Kejar Paket Anak Asuh













Untuk menjawab persoalan banyaknya anak-anak putus sekolah di desa terpencil, Yayasan Munashoroh Indonesia (YMI) telah mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Kampung Bebulak, Desa Marga Mulya, Kec.Mauk, Tangerang, Banten.

Selain masalah sarana penunjang pendidikan yang tak terjangkau seperti beli buku, tas, alat tulis dan sepatu, persoalan-persoalan seperti jauhnya lokasi sekolah, masalah usia yang sudah terlalu lama putus sekolah dan terlambat meneruskan sekolah lagi, serta alasan harus membantu orang tua mencari nafkah, diakui oleh Ketua YMI Cabang Tangerang Abdul Aziz, sebagai penyebab anak-anak di desa terpencil putus sekolah.

“Diharapkan dengan adanya PKBM ini bisa menjadi wadah pendidikan nonformal dengan berbagai program kegiatan pembelajaran masyarakat,” ujar Abdul Aziz. Saat ini PKBM Munashoroh di Tangerang sudah membuka program Kejar Paket A, B, dan C yang diikuti oleh 16 anak putus sekolah. Program ini memberi kesempatan bagi anak-anak di desa-desa terpencil yang putus sekolah (dengan alasan tertentu) untuk melanjutkan pendidikannya setara dengan pendidikan formal SD, SLTP, dan SLTA.

“Karena tujuan dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, maka kegiatan di PKBM bisa bermacam-macam, tergantung kebutuhan masyarakat di sana,” imbuhnya. Ke depan PKBM ini diharapkan bisa menjadi pusat pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi serta budaya di wilayah tersebut. #

INDONESIA Mengajar Di Pelosok Tanah Air (Rela mengajar di pelosok demi anak Indonesia)

Rela mengajar di pelosok demi anak Indonesia

Indonesia Mengajar mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil. Yayasan ini sudah mengirim 171 pengajar muda ke desa-desa pelosok di 14 kabupaten. Tujuannya adalah untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Mendengar cerita soal potret dunia pendidikan Papua yang buram dari seorang kawan yang menjadi pengajar di Bumi Cenderawasih itu, hati Ratih Diasari langsung miris. Sebuah keputusan besar pun ia ambil.
Perempuan 23 tahun ini langsung memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai corporate secretary legal officer di GCMednovation, sebuah lembaga pendidikan di Jakarta. Bahkan, Ratih mengambil cuti kuliah S2 Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ratih memilih bergabung dengan Indonesia Mengajar untuk menjadi tenaga pengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia. “Akibat saya memutuskan menjadi pengajar muda, beasiswa S2 saya dicabut oleh perusahaan lama,” katanya.
Tapi, Ratih sama sekali tidak menyesal dengan keputusan yang sempat membuat orangtuanya kaget itu. Saat ini, dia mengajar di sebuah sekolah dasar (SD) di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, menempatkan Ratih selama setahun di daerah tersebut. Desember ini adalah bulan keenam dia menjadi guru di Adaut. “Sejak mendengar cerita teman, saya kepikiran terus soal pendidikan anak-anak di desa tertinggal. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ikut,” ujar pengajar muda angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
Indonesia Mengajar yang lahir tahun 2010 lalu memiliki misi ganda. Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan. Kedua, menjadi wahana belajar kepemimpinan bagi anak-anak muda terbaik Indonesia agar tak semata memiliki kompetensi kelas dunia, tetapi juga pemahaman akar rumput.

Yayasan itu membantu mengisi kekurangan guru SD di daerah terpencil. Indonesia Mengajar mengirimkan lulusan terbaik perguruan tinggi di Indonesia yang telah dididik intensif untuk menguasai kapasitas kepengajaran dan kepemimpinan.
Menurut Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, pihaknya memfasilitasi para pengajar muda untuk tinggal, hidup, dan belajar dari masyarakat setempat selama satu tahun. “Mereka bekerja di SD dan tinggal di rumah penduduk bersama keluarga baru mereka,” jelas Hikmat.
Tapi, tidak semua orang yang baru lulus perguruan tinggi bisa menjadi pengajar muda. Untuk menjadi seorang pengajar muda, ada beberapa fase yang harus dilalui. Pertama, fase rekrutmen yang terdiri dari tiga tahap seleksi: tertulis, wawancara, dan kesehatan.
Kedua, fase pelatihan yang dilaksanakan secara intensif selama tujuh minggu. Materi pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan mengajar secara teori dan praktik, tetapi juga keterampilan fisik, belajar kreatif, leadership skillproblem solving, adaptasi masyarakat, advokasi, termasuk juga health and safety.
Ketiga, fase penempatan dan penugasan. Setelah melewati fase pelatihan, pengajar muda akan bertugas di berbagai pelosok Indonesia selama setahun di SD negeri atau swasta yang ditentukan bersama dengan dinas pendidikan daerah.
Ada 14 kabupaten di 14 provinsi yang menjadi tempat penempatan dan penugasan para pengajar muda Indonesia Mengajar. Ambil contoh Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam), Tulang Bawang Barat (Lampung), Lebak (Banten), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Sangihe (Sulawesi Utara), Ndao (Nusa Tenggara Timur), dan Fakfak (Papua Barat).
Indonesia Mengajar menilai, 14 kabupaten ini merupakan daerah tertinggal yang kekurangan guru SD. Namun, yayasan ini sama sekali tak bermaksud menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Meski begitu, “Kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru akan ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita,” imbuh Hikmat.
Empat angkatan
Hikmat menuturkan, Indonesia Mengajar sudah mencetak tiga angkatan pengajar muda. Masing-masing angkatan terdiri dari 51 orang, 73 orang, dan 47 orang. Sedangkan angkatan keempat yang terdiri dari 47 pengajar muda siap diberangkatkan dalam waktu dekat. Tetapi, mereka tidak bekerja sukarela. Mereka tetap mendapat bayaran sebesar Rp 4 juta sebulan.
Tidak semua pengajar muda Indonesia Mengajar adalah orang-orang yang baru lulus kuliah. Tak sedikit dari mereka sebelumnya bekerja di berbagai perusahaan. Shally Pristine, salah satu contohnya.
Sama halnya Ratih, Shally juga memilih melepas kariernya sebagai wartawan di sebuah koran nasional untuk menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar. Kini, dia mengajar di SD Negeri Oi Marai, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Lantaran terletak di wilayah terpencil, tentu daerah tempat Shally mengajar jauh dari kata layak. “Tanahnya tandus, hanya bisa ditanami jambu mede,” ucap pengajar angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
SD tempat Shally mengajar terletak di tepi jalan berbatu. Untuk bisa sampai ke sekolah, dia dan murid-muridnya harus berjalan kaki sekitar 20 menit sampai 45 menit. Namun, fasilitas sekolah seperti buku dan alat peraga cukup lengkap. Hanya, kualitas pengajarannya yang belum maksimal karena kekurangan pengajar.
Tak heran, Shally mengungkapkan, ada murid kelas VI di SD Negeri Oi Marai yang belum mampu membaca dengan fasih. “Masih butuh bimbingan,” ungkapnya yang mengajar mulai jam 07.30 sampai 12.30.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada anak kelas VI yang tidak tahu pelajaran kelas I. Akibatnya, Shally harus mengajarkan kembali materi kelas I hingga V kepada anak didiknya yang sudah duduk di kelas VI. “Di sini penempatan kelas bukan lagi atas dasar kemampuan siswa, tetapi usia,” bebernya.
Pengalaman yang tidak jauh berbeda juga dirasakan Ratih yang mengajar di SD Negeri 2 Adaut. Ia mengajar di kelas III yang memiliki 47 siswa. Namun, sekitar 30 anak di antaranya belum lancar membaca. Bahkan, beberapa pelajar itu tidak tahu bagaimana cara mengeja. Ada juga yang tidak tahu huruf F, G, H, M, W, X, serta Y.
Kurang guru
Sebetulnya, jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak jauh, hanya sekitar 100 meter saja. Namun, karena mayoritas orangtua siswa bekerja sebagai petani rumput laut, mereka sering mengajak anak-anaknya bekerja selepas sekolah. Jadi, “Anak-anak jarang belajar di rumah untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang mereka dapat di sekolah,” ungkap Ratih yang lulusan Fakultas Hukum UGM.
Arum Puspitarini Darminto, pengajar muda di SD Kristen Werain, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, juga punya kisah serupa. Ketika pertama kali mengajar, dia mendapati anak didiknya di kelas IV tidak tahu harus mulai menulis dari mana saat disodori kertas folio yang tidak ada garisnya.
Sebetulnya, Arum bilang, jumlah guru di SD Kristen Werain tidak kurang-kurang amat, ada kepala sekolah dan enam guru. “Tenaga pengajar baru kurang kalau ada guru yang ke luar pulau,” ujar Arum.
Kalau ada guru yang ke luar pulau, belum tentu dia bisa kembali dalam waktu satu hari. Bisa jadi empat hari kemudian ia baru kembali. Itu pun jika cuaca sedang mendukung. Sebab, kapal penumpang cuma datang empat hari sekali. Ditambah, “Guru di sana juga belum bisa membedakan antara keperluan pribadi dengan tugas mengajar,” sesal Arum.
Idem ditto dengan pengalaman Fatia Qanitat. Pengajar muda angkatan pertama Indonesia Mengajar ini membeberkan, di SD Bantan Air, Kabupaten Bengkalis, Riau, tempatnya mengajar, banyak murid yang belum bisa baca-tulis.
Fatia bercerita, guru di sana tidak memberlakukan syarat yang ketat untuk meluluskan anak didiknya. Contoh, asal bisa mengenal huruf, siswa bisa naik ke kelas II. Kemudian, jika bisa membuat tulisan sambung, murid bisa naik kelas tiga. “Mereka baca saja susah, belum tentu paham dengan apa yang dibaca,” terangnya yang menjadi guru kelas III. Ia mengajar pelajaran matematika, IPA, serta bahasa Indonesia.
Noveri Maulana, pengajar muda angkatan ketiga Indonesia Mengajar yang bertugas di SD Negeri 33 Battutala, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, merasakan kekurangan guru.
Guru yang bertugas di sekolah yang hanya punya 55 murid ini tidak rutin datang setiap hari. Sebab, hanya ada satu guru yang tinggal di Battutala. Yang lain tinggal di kota kecamatan. “Jarak dari kota kecamatan ke Battutala sekitar satu jam perjalanan dan mendaki, jadi guru hanya seminggu sekali datang,” ungkap lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengajar semua mata pelajaran di kelas empat, lima, dan enam SD Battutala itu.
Toh, semua kenyataan pahit itu tidak menyurutkan niat para pengajar muda Indonesia Mengajar untuk tetap mengabdi pada bangsa ini. Ini persis seperti moto Indonesia Mengajar: Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekadar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apa pun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.
Sumber : 

INDONESIA MENGAJAR (RELA, Abaikan Kepentingan Pribadi DEMI BANGSA DAN NEGARA)


Rela mengajar di pelosok demi anak Indonesia

Rela mengajar di pelosok demi anak Indonesia
oleh : Azis Husaini, Hans Henricus Benedictus | Rabu, 04 Januari 2012 | 10:08 WIB

Indonesia Mengajar mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil. Yayasan ini sudah mengirim 171 pengajar muda ke desa-desa pelosok di 14 kabupaten. Tujuannya adalah untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Mendengar cerita soal potret dunia pendidikan Papua yang buram dari seorang kawan yang menjadi pengajar di Bumi Cenderawasih itu, hati Ratih Diasari langsung miris. Sebuah keputusan besar pun ia ambil.
Perempuan 23 tahun ini langsung memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai corporate secretary legal officer di GCMednovation, sebuah lembaga pendidikan di Jakarta. Bahkan, Ratih mengambil cuti kuliah S2 Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ratih memilih bergabung dengan Indonesia Mengajar untuk menjadi tenaga pengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia. “Akibat saya memutuskan menjadi pengajar muda, beasiswa S2 saya dicabut oleh perusahaan lama,” katanya.
Tapi, Ratih sama sekali tidak menyesal dengan keputusan yang sempat membuat orangtuanya kaget itu. Saat ini, dia mengajar di sebuah sekolah dasar (SD) di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, menempatkan Ratih selama setahun di daerah tersebut. Desember ini adalah bulan keenam dia menjadi guru di Adaut. “Sejak mendengar cerita teman, saya kepikiran terus soal pendidikan anak-anak di desa tertinggal. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ikut,” ujar pengajar muda angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
Indonesia Mengajar yang lahir tahun 2010 lalu memiliki misi ganda.Pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan. Kedua, menjadi wahana belajar kepemimpinan bagi anak-anak muda terbaik Indonesia agar tak semata memiliki kompetensi kelas dunia, tetapi juga pemahaman akar rumput.
Yayasan itu membantu mengisi kekurangan guru SD di daerah terpencil. Indonesia Mengajar mengirimkan lulusan terbaik perguruan tinggi di Indonesia yang telah dididik intensif untuk menguasai kapasitas kepengajaran dan kepemimpinan.
Menurut Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, pihaknya memfasilitasi para pengajar muda untuk tinggal, hidup, dan belajar dari masyarakat setempat selama satu tahun. “Mereka bekerja di SD dan tinggal di rumah penduduk bersama keluarga baru mereka,” jelas Hikmat.
Tapi, tidak semua orang yang baru lulus perguruan tinggi bisa menjadi pengajar muda. Untuk menjadi seorang pengajar muda, ada beberapa fase yang harus dilalui. Pertama, fase rekrutmen yang terdiri dari tiga tahap seleksi: tertulis, wawancara, dan kesehatan.
Kedua, fase pelatihan yang dilaksanakan secara intensif selama tujuh minggu. Materi pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan mengajar secara teori dan praktik, tetapi juga keterampilan fisik, belajar kreatif, leadership skillproblem solving, adaptasi masyarakat, advokasi, termasuk juga health and safety.
Ketiga, fase penempatan dan penugasan. Setelah melewati fase pelatihan, pengajar muda akan bertugas di berbagai pelosok Indonesia selama setahun di SD negeri atau swasta yang ditentukan bersama dengan dinas pendidikan daerah.
Ada 14 kabupaten di 14 provinsi yang menjadi tempat penempatan dan penugasan para pengajar muda Indonesia Mengajar. Ambil contoh Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam), Tulang Bawang Barat (Lampung), Lebak (Banten), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Sangihe (Sulawesi Utara), Ndao (Nusa Tenggara Timur), dan Fakfak (Papua Barat).
Indonesia Mengajar menilai, 14 kabupaten ini merupakan daerah tertinggal yang kekurangan guru SD. Namun, yayasan ini sama sekali tak bermaksud menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Meski begitu, “Kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru akan ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita,” imbuh Hikmat.
Empat angkatan
Hikmat menuturkan, Indonesia Mengajar sudah mencetak tiga angkatan pengajar muda. Masing-masing angkatan terdiri dari 51 orang, 73 orang, dan 47 orang. Sedangkan angkatan keempat yang terdiri dari 47 pengajar muda siap diberangkatkan dalam waktu dekat. Tetapi, mereka tidak bekerja sukarela. Mereka tetap mendapat bayaran sebesar Rp 4 juta sebulan.
Tidak semua pengajar muda Indonesia Mengajar adalah orang-orang yang baru lulus kuliah. Tak sedikit dari mereka sebelumnya bekerja di berbagai perusahaan. Shally Pristine, salah satu contohnya.
Sama halnya Ratih, Shally juga memilih melepas kariernya sebagai wartawan di sebuah koran nasional untuk menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar. Kini, dia mengajar di SD Negeri Oi Marai, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Lantaran terletak di wilayah terpencil, tentu daerah tempat Shally mengajar jauh dari kata layak. “Tanahnya tandus, hanya bisa ditanami jambu mede,” ucap pengajar angkatan kedua Indonesia Mengajar ini.
SD tempat Shally mengajar terletak di tepi jalan berbatu. Untuk bisa sampai ke sekolah, dia dan murid-muridnya harus berjalan kaki sekitar 20 menit sampai 45 menit. Namun, fasilitas sekolah seperti buku dan alat peraga cukup lengkap. Hanya, kualitas pengajarannya yang belum maksimal karena kekurangan pengajar.
Tak heran, Shally mengungkapkan, ada murid kelas VI di SD Negeri Oi Marai yang belum mampu membaca dengan fasih. “Masih butuh bimbingan,” ungkapnya yang mengajar mulai jam 07.30 sampai 12.30.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada anak kelas VI yang tidak tahu pelajaran kelas I. Akibatnya, Shally harus mengajarkan kembali materi kelas I hingga V kepada anak didiknya yang sudah duduk di kelas VI. “Di sini penempatan kelas bukan lagi atas dasar kemampuan siswa, tetapi usia,” bebernya.
Pengalaman yang tidak jauh berbeda juga dirasakan Ratih yang mengajar di SD Negeri 2 Adaut. Ia mengajar di kelas III yang memiliki 47 siswa. Namun, sekitar 30 anak di antaranya belum lancar membaca. Bahkan, beberapa pelajar itu tidak tahu bagaimana cara mengeja. Ada juga yang tidak tahu huruf F, G, H, M, W, X, serta Y.
Kurang guru
Sebetulnya, jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak jauh, hanya sekitar 100 meter saja. Namun, karena mayoritas orangtua siswa bekerja sebagai petani rumput laut, mereka sering mengajak anak-anaknya bekerja selepas sekolah. Jadi, “Anak-anak jarang belajar di rumah untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang mereka dapat di sekolah,” ungkap Ratih yang lulusan Fakultas Hukum UGM.
Arum Puspitarini Darminto, pengajar muda di SD Kristen Werain, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, juga punya kisah serupa. Ketika pertama kali mengajar, dia mendapati anak didiknya di kelas IV tidak tahu harus mulai menulis dari mana saat disodori kertas folio yang tidak ada garisnya.
Sebetulnya, Arum bilang, jumlah guru di SD Kristen Werain tidak kurang-kurang amat, ada kepala sekolah dan enam guru. “Tenaga pengajar baru kurang kalau ada guru yang ke luar pulau,” ujar Arum.
Kalau ada guru yang ke luar pulau, belum tentu dia bisa kembali dalam waktu satu hari. Bisa jadi empat hari kemudian ia baru kembali. Itu pun jika cuaca sedang mendukung. Sebab, kapal penumpang cuma datang empat hari sekali. Ditambah, “Guru di sana juga belum bisa membedakan antara keperluan pribadi dengan tugas mengajar,” sesal Arum.
Idem ditto dengan pengalaman Fatia Qanitat. Pengajar muda angkatan pertama Indonesia Mengajar ini membeberkan, di SD Bantan Air, Kabupaten Bengkalis, Riau, tempatnya mengajar, banyak murid yang belum bisa baca-tulis.
Fatia bercerita, guru di sana tidak memberlakukan syarat yang ketat untuk meluluskan anak didiknya. Contoh, asal bisa mengenal huruf, siswa bisa naik ke kelas II. Kemudian, jika bisa membuat tulisan sambung, murid bisa naik kelas tiga. “Mereka baca saja susah, belum tentu paham dengan apa yang dibaca,” terangnya yang menjadi guru kelas III. Ia mengajar pelajaran matematika, IPA, serta bahasa Indonesia.
Noveri Maulana, pengajar muda angkatan ketiga Indonesia Mengajar yang bertugas di SD Negeri 33 Battutala, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, merasakan kekurangan guru.
Guru yang bertugas di sekolah yang hanya punya 55 murid ini tidak rutin datang setiap hari. Sebab, hanya ada satu guru yang tinggal di Battutala. Yang lain tinggal di kota kecamatan. “Jarak dari kota kecamatan ke Battutala sekitar satu jam perjalanan dan mendaki, jadi guru hanya seminggu sekali datang,” ungkap lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengajar semua mata pelajaran di kelas empat, lima, dan enam SD Battutala itu.
Toh, semua kenyataan pahit itu tidak menyurutkan niat para pengajar muda Indonesia Mengajar untuk tetap mengabdi pada bangsa ini. Ini persis seperti moto Indonesia Mengajar: Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekadar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apa pun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.
Sumber Mingguan KONTAN, Edisi 2 - 8 Januari 2012

Jumat, 07 Juni 2013

Minim dan Mirisnya Para Pelajar dipelosok Nusantara


http://www.youtube.com/watch?v=N5STXBl0azM
Mohon Maaf dan Maklum...kepada
http://edukasi.kompasiana.com
Kami ingin mencuplik Kembali dan Sinergikan Situasi Pelosok Negri hanya semata Untuk BANGSAKU....

Kami cinta bahasa Kami ingin menulis bersama Kami ingin belajar bersama Kami ingin berbagi

Mirisnya Pendidikan di Pelosok Indonesia

OPINI | 28 February 2013 | 20:49 Dibaca: 272    Komentar: 0    0
Pendidikan di indonesia di zaman yang sudah modern ini sudah semakin berkembang. mulai dari gedung sekolah yang sudah bertingkat sampai fasilitas yang serba modern. tapi bagaimana dengan keadaan pendidikan di pelosok negeri kita indonesia?apakah sama dengan pendidikan di kota kota besar?
Di daerah perkotaan, sebagian siswa siswa nya dengan mudah menempuh jarak sekolah dengan menggunakan alat transportasi yang serba mewah. siswa siswa disana tidak perlu mencari biaya untuk sekolah mereka, karena orang tua mereka sudah mapan untuk membiayai pendidikan anak anaknya.
Sangat berbeda dengan keadaan pendidikan di perkotaan. Di daerah Pelosok negeri ini , banyak sekali para siswa yang kebanyak tinggal di pelosok negeri  yang  harus berjuang bertaruh nyawa melewati jembatan yang hampir roboh untuk menuju sekolahnya. para siswa ini pasti ada rasa takut yang mendera ketika melewati  jembatan yang roboh yang jika terpeleset maka akan terjatuh ke sungai, tapi karena tekad yang kuat untuk bisa sekolah, meraka harus berani mengambil resiko yang sangat besar seperti ini.
Peristiwa lain di bidang pendidikan yaitu masih banyak gedung sekolah yang tidak layak guna, seperti belajar di kandang kambing. apakah siswa siswa ini bisa belajar dengan nyaman jika ditempat seperti  ini? jawabannya pasti tidak, karena belajar di tempat sperti itu pasti menggangu karena mungkin pasti tercium bau tidak enak dari kandang tersebut.  lalu biaya BOS yang pemerintah dikasih itu apakah sampai ke sekolah di daerah pelosok? apakah dana BOS itu hanya ada di daerah perkotaan saja.
Tidak hanya masalah itu saja, siswa siswa disana kebanyakan harus mencari uang agar tetap bisa sekolah. dengan umur mereka yang masih dibawah umur dalam hal bekerja,  mereka punya keinginan besar untuk bisa tetap sekolah. selain untuk sekolah,  mereka membantu orang tuanya untuk kebutuhan hidupnya sehari hari. begitu besar keinginan mereka untuk tetap sekolah walaupun dengan keadaan yang sangat kekurangan. agar tetap sekolah, diantara mereka harus berjualan di sekolah. mungkin sebagian siswa lain akan merasa malu dengan teman teman yang lainnya, takut di ejek, takut ga punya temen dll. yang harusnya masa anak anak itu diisi dengan bermain dengan teman temannya, justru mereka harus bekerja untuk bisa menggapai cita cita nya.
Lalu apakah pemerintah setempat  sudah turun tangan dalam kasus seperti ini.? ?
Kasus pendidikan diatas tidak sepadan dengan meningkatnya pejabat yang korupsi , apakah pejabat yang korupsi  itu memikirkan bagaiamana keadaan  pendidikan di negeri tercinta ini? mengapa mereka lebih memikirkan untuk berkorupsi daripada memperbaiki pendidikan di indonesia? mungkin jika para pejabat tidak korupsi dan hanya memikirkan diri sendiri, maka pendidikan di pelosok negeri ini akan lebih baik. pembangunan fasilitas fasilitas yang tidak penting akan lebih baik jika digunakan untuk memperbaiki jembatan di pelosok negeri ini untuk kepentingan pendidikan.
Dalam hal ini peran pemerintah sangat dibutuhkan. karena pendidikan itu hak setiap warga negara indonesia. anak anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak seperti yag tercantum dalam UUD 1945. Kemajuan bangsa indonesia ditentukan oleh generasi muda yang memiliki potensi yang membanaggakan. anak anak di indonesia pasti menginginkan bisa memajukan bangsa nya dan membawa nama indonesia dalam berbagai bidang ke dunia internasional. marilah bersama sama memajukan kualitas pendidikan di negeri ini agar anak anak indonesia bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk negerinya dan secara global mereka bisa membawa harun negeri ini di tingkat internasional.
HANA HANANIAH
1004034
3 IPS

Menukil Situasi Pelosok Negri Nusantara

Mohon maaf dan maklum sebelumnya  kepada : https://indonesiamengajar.org

kami hanya ingin mensinergikan.....mengapresiasikan seluruh situasi pelosok NEGRI NUSANTARA KITA INDONESIA, Utamanya Keadaan para pelajar dan lokasi SEKOLAH Putra-Putri Bangsa Di Seanterio Nusantara INDONESIA ini..Utamanya Putra-Putra Indonesia sangat banyak yang tidak mampu dalam membiaya sekolah dan keerluan sekolah, juga jarak tempuh erjalanan kesekolah ulang dan [ergi juga tempat dan sarananya masih sanagat banyak yang tidak dan belum tersentuh PEMERINTAH INDONESIA, betapa MIRISNYA....agar mereka mengetahui....keadaan yang sangat memrihatinkan...dielosok NEGRI yang jauh dari jangkauan-jangkauan GLAMORISASI Kehiduan Kaya Raya Para Elite dan Selebritis mauun kalangan Pengusaha yang Berada DI METROPOLIS JAKARTA, MAUPUN DAERAH-DAERAH KOTA BESAR LAINNYA..marilah ulurkan tangan bergandeng tangan entaskan....mereka dan bangun negri di Seluruh Pelosok NEGRI dengan Utamakan para PUTRA PUTRI GENERASI BANGSA INDONESIA dalam mengentas agar mereka dapat bersekolah berkelanjutan juga sarana prasarananya.....

BAGNGUUUUNNNNN....RAKYATKU....BANGUNN...INDONESIAKU..BERSATUUU...PADULLAH....UNTUK NEGRI DAN ANAK BANGSAKU....INDONESIA RAYA..NUSANTARAA....BERSATU...
-------------------------------------------------------------------------------------------------------  (By. M_ROTO) hanya semata-mata untuk BANGSAKU....DISELIURUH PELOSOK NUSANTARA TERCINTA " INDONESIA RAYA" YANG BERSATU PADU......
Tahun ini adalah 17 Agustus ketiga yang saya rayakan di luar kampung halaman, Sumatera Selatan. Yang pertama adalah 17 Agustus 2004 di Istana Merdeka. Ketika itu saya merayakannya sebagai seorang siswa yang berjuang datang ke ibu kota untuk bersaing di ajang final lomba Resensi Buku Nasional, untuk membuktikan anak daerah tidak kalah dari anak-anak ibu kota.
Lalu 17 Agustus yang kedua yaitu pada tahun 2008, ketika saya diamanahi beasiswa untuk berkuliah di Los Angeles, Amerika Serikat,  ajang pembuktian diri bahwa anak Indonesia tidak kalah dari bangsa-bangsa lain yang kuliah di tanah Paman Sam tersebut. Tahun ini saya berkesempatan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Paser, tepatnya di Desa Suliliran, sebagai seorang Pengajar Muda yang diberikan kesempatan untuk mengenal negeri ini lebih dekat ketika berada di pelosok.
Rasanya baru kemarin hati saya mengharu biru ketika keluar dari stasiun Metro di Los Angeles untuk menghadiri peringatan 17an. Masih terekam dalam ingatan rasa haru itu membuncah ketika dari kejauhan saya dengar musik khas Indonesia mengalun ceria menyemarakkan Whilshire Boulevard dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di sana. Makin girang saya ketika melihat para saudara sebangsa mengenakan batik kala itu. Ah, saya jadi ingat pada hari itu saya mengirimkan sebuah email update kepada supervisor saya di Amerika Serikat yang kira-kira begini bunyinya :
“Merayakan hari kemerdekaan Indonesia adalah sebuah pengalaman berharga. Saya bisa membandingkan Indonnesia dan Amerika Serikat dalam sektor pembangunan dan pendidikan. Saya merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk belajar disini. Oleh karena itu, saya harus belajar dengan giat untuk meningkatkan kualitas diri agar dapat memberikan kontribusi besar bagi negara ku, Indonesia. Selain itu, sejak tiba di Amerika Serikat saya merasa nasionalisme saya semakin meningkat karena jauh dari Indonesia....”
Cukup sederhana makna kemerdekaan bagi saya saat itu.
Habis sholat tarawih, saya mengumumkan melalui pengeras suara mesjid bahwa besoknya, 17 Agustus 2012, akan diadakan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia. Karena desa kami terbagi menjadi dua dusun, Belebak dan Trans, pengumuman ini sepertinya hanya dapat di dengar oleh siswa-siswa saya yang tinggal di Belebak. Oleh karena itu, tadi sore saya sudah mengantisipasi hal tersebut dengan meminta Lala dan Irvan, murid kelas IV, yang les sore bersama saya untuk menyebarkan pengumuman upacara kepada teman-temannya di dusun trans.
Sungguh tidak saya sangka ketika sudah berumur 23 tahun, saya bisa begitu excited untuk upacara 17an bersama murid-murid, hingga saya kesulitan tidur. Saya gelisah apakah anak-anak akan datang ke sekolah ketika hari libur seperti ini, -sekolah sudah libur sejak tanggal 6, red. Beberapa murid mencoba menghubungi saya melalui sms untuk menanyakan benar tidaknya akan upacara. Dengan tegas, saya jawab ya. Agaknya, dua tahun terakhir ini desa kami tidak melakukan peringatan 17 Agustus. Oleh karena itu, saya mencoba menghadirkan cita rasa nasionalisme sederhana dalam upacara besok.
Pagi ini, pagi sekali, saya dibangunkan oleh Jaya, murid kelas IV, yang menjemput kunci sekolah. Jaya masih juga bertanya, “Sekolah kah kita, Bu?.” Saya jawab dengan tegas, “Ya.” Nah, ternyata, menurut pengakuan Jaya dan teman-temannya, mereka belum pernah upacara 17an sebelumnya. Itulah alasan kenapa mereka heran dan bertanya-tanya.
Setelah memberikan kunci sekolah pada Jaya, saya bergegas menghubungi semua guru. Intinya saya minta ijin mengajak anak-anak untuk upacara 17an. Alhamdulillah respon para guru sangat positif. Saya pun berangkat ke sekoah dengan dijemput oleh beberapa murid kelas VI dan kelas IV. Ketika melawati beberapa rumah murid, tak lupa kami memanggil mereka untuk berangkat ke sekolah. Ketika kami hampiri bahkan ada murid yang baru bangun tidur.
Dari kejauhan, saya melihat anak-anak sudah siap di sekolah. Lengkap dengan seragam merah putih dan senyum sumringah . Alhamdulillah, sekitar tiga puluhan anak yang datang. Bung Karno sendiri pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan ku guncang dunia.” Saya harap tiga puluh anak ini insya Allah bisa mengguncang dunia nantinya. Amin.
Langkah pertama yang kami lakukan adalah membersihkan sekolah dan lapangan. Gesit dan bersemangat sekali anak-anak bergotong-royong. Selesai bersih-bersih, kami sudah siap untuk memulai upacara ketika dari kejauhan terlihat ada seorang murid kelas I yang sedang menuju sekolah untuk mengikuti upacara 17an. Anak ini, Puji namanya, disambut teman-temannya, yang rata-rata kelas VI – III, dengan suka cita dan bangga. Anak sekecil ini pun semangat untuk ikut merayakan kemerdekaan Indonesia dengan upacara 17an. Heroik sekali!
Saya juga tidak kesulitan mencari para petugas upacara. Linda, murid kelas VI, dengan mantap mengajukan diri untuk jadi komandan upacara. Sedangkan Jumarding, kelas VI, yang biasanya sangat pemalu pun langsung bersedia di daulat jadi petugas baca doa. Sementara murid-murid lain berebutan untuk jadi dirigen paduan suara dan tugas-tugas lainnya.Alhamdulillah, tiada daya dan upaya serta kemudahan 17 Agustus kali ini tanpa ridho dari Allah. Sungguh berkah Ramadhan.
Langkah tegap dari pasukan pengibar bendera yaitu Asif, Rifan, dan Veni, membuncahkan rasa haru di hati saya.  Ketika Veni berseru, “Bendera siap!”, Linda dengan lantang memimpin peserta hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Saya pun ingin rasanya waktu berhenti sebentar untuk menikmati ledakan perasaan haru ini, nasionalisme sederhana yang kami coba hadirkan di pelosok Borneo.
 Saya sendiri bertindak sebagai pembina upacara 17 Agustus ini. Tibalah giliran saya membacakan teks proklamasi. Hati saya bergemuruh ketika mengucapkan, “Kami bangsa Indonesia....” untuk sebuah perasaan bangga yang tidak bisa saya jelaskan. Ini rasanya ketika berdiri diantara anak-anak bermata cemerlang ini sebagai satu kesatuan dari bangsa Indonesia, walau suku kami berbeda-beda namun tetap harmonis dalam kebersamaan. Ini rasanya ketika mengenang bahwa bangsa ini dibangun dengan perjuangan panjang, dengan keringat, darah, air mata, dan bahkan nyawa para pejuang, kesyahduan upacara 17an.
“Kita tahu bahwa perjuangan bangsa ini belum berakhir. Masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau desa-desa yang tidak punya aliran listrik. Lalu jadi tanggung jawab siapakah itu?”, prolog amanat saya. Suasana hening. Saya pun melanjutkan, “Itu tanggung jawab kita bersama untuk memperbaiki semua kondisi ini dan memajukan Indonesia, anak-anak.”
Saya mengakhiri amanat upacara dengan pertanyaan, “Siapkah kalian meneruskan perjuangan Indonesia? Siapkah kalian memajukan negeri ini? Lima sampai sepuluh tahun lagi nasib bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh kalian, anak-anak,” dengan suara yang mulai dikuasai perasaan haru. Jawaban para murid saya ini cukup singkat, dan tegas, “Siap!”
“Bekali diri kalian dengan ilmu, akhlak, dan agama yang kuat, anak-anak! Insya Allah kalian bisa jadi pemimpin negeri ini yang bijak dan memakmurkan umat!” itu lah kalimat penutup amanat 17 Agustus yang saya sampaikan.
Setelah selesai upacara,  saya dan anak-anak pulang bersama. Betapa senangnya saya mendengar celotehan anak-anak tentang berkesannya peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini bagi mereka. Sore harinya, ibunya Puji, bercerita kepada saya bahwa anaknya sejak subuh sudah bangun dan mengatakan ingin ikut upacara, dan bercerita bahwa anaknya sempat menangis dua kali ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya karena terharu.